Ads

Kebebasan Sebagai Tanggungjawab Moral dalam Normativitas Agama



Apakah sebuah moralitas selalu bergantung sepenuhnya pada agama yang dianut seseorang? Ataukah sebaliknya, agama menjadi tergantung sepenuhnya dengan moralitas?”. Untuk menjawab pertanyaan ini, rasanya realitas dalam diri individu sekiranya bisa dijadikan tolak ukurnya!

Dalam bukunya yang berjudul ‘The Elements Of Moral Philosophy’, seorang profesor filsafat dari Universitas Alabama, James Rachels (2004:98), menyatakan bahwa ..“Bukan hal yang aneh, kalau para Imam dan Pelayan Rohani dianggap sebagai ahli Moral. Kebanyakan Rumah Sakit, misalnya, mempunyai komisi-komisi etis, komisi-komisi ini biasanya terdiri dari tiga macam anggota; profesional dalam memberi nasehat mengenai persoalan-persoalan teknis, pengacara untuk menangani persoalan hukum dan wakil-wakil agama untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan moral... Ketika surat ingin memberi komentar mengenai dimensi etis dari suatu cerita, mereka memanggil agamawan, dan agamawan senang memenuhi kewajiban itu”

Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bagaimana posisi serta peran Imam dan para Pelayan Rohani yang selalu diandaikan (dianggap) sebagai penasehat yang bijaksana, bahkan dianggap ‘yang lebih’ bermoral tinggi, yaitu golongan insan bermoral yang konon katanya akan selalu siap untuk memberikan nasihat moral yang baik pada saat-saat dimana mereka di butuhkan. 


Mengapa kaum agamawan selalu dipandang sebagai sosok atau figur moralitas tertinggi? Apakah hal ini menandakan bahwa kehidupan yang bermoral akan selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan norma-norma suatu agama dan kepercayaan seseorang? Padahal, kenyataan terbalik dari kenyataan tersebut diatas banyak sekali terjadi, bahkan merusak tatanan praksis-etis kehidupan agama sehingga menjadi sebuah balada kehidupan ‘agama yang tak bermoral’?.

Rachels (2004:98-100) mengemukakan alasannya mengapa kaum agamawan dipandang memiliki pandangan moral yang khusus. Bahwa menurutnya, dalam pemikiran populer, memang moralitas dan agama selalu tidak dapat terpisahkan. Sebab pada umumnya orang percaya bahwa moralitas dapat dipahami hanya dalam konteks agama saja. 

Sebab itu, dapat dikatakan bahwa karena kaum agamawan atau kaum religius merupakan juru bicara agama, maka mereka pun dapat diandaikan sebagai juru bicara untuk moralitas juga. 

Mengapa demikian? Menurut Rachels, tidak sulit untuk melihat mengapa orang berpikir tentang adanya ‘hubungan’ ini. Sebab, dalam pandangan non religius, alam semesta tampaknya merupakan tempat yang dingin, tanpa arti, yang kosong dari nilai dan tujuan. Lalu ketika moral dan agama menjadi dua hal yang saling berhubungan satu dengan lainnya, kemanakah kebebasan itu harus di letakkan? Apakah kebebasan harus berkontradiksi dengan ke duanya? Ataukah sebuah warning ethic harus di tempatkan untuk membatasinya? Yang pasti, kebebasan seharusnya didasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan bermoral yang mengedepankan eksistensi agama sebagai upaya dalam ‘membebaskan’ kehidupan manusia ketika menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan.

Hal ini berarti bahwa aspek agama tidak dapat diabaikan begitu saja dalam mengkaji konsep kebebasan. Sebagaimana  agama diperlukan sebagai sumber otonom penting dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan juga dalam kemajemukan hidup—kehidupan yang plural. 

Karena di dalam kehidupan yang beragama, tertuang berbagai macam asas yang mendukung perjuangan ‘kemanusiaan’ dalam natur manusia yang bernaung di dalamnya. Sehingga agama seharusnya di pandang lebih ke dalam konteks normatif-historis. 

Hanya saja, konsepsi pemikiran keagamaan yang bagaimana yang dapat dipahami seperti demikian? Sebab, ada pula asas-asas penting di dalamnya yang mungkin saja tidak dapat diubah sama sekali, terutama bila hal itu menyangkut persoalan iman dan hukum-hukum tertentu.

Intinya kebebasan merupakan suatu sikap patuh (kepatuhan) yang harus di konstruksikan pada pondasi dalam kaidah agama, yang di dalamnya terkandung kebaikan dan kebajikan moral, dan yang selalu memiliki hubungan signifikan dengan upaya manusia untuk menggunakan akal pikirannya dengan leluasa, yang ‘berhubungan’ dengan unsur kehendak dan kesadaran diri dalam menentukan nilai sebagai hasil dari perilaku etika yang adalah bagian moralitas keagamaannya. 

Adapun penggunaan akal setiap manusia berbeda-beda, sehingga membawa perbedaan dalam penetapan nilai-nilai moral yang ada. Namun konsekuensinya, tindakan moral akan erat kaitannya dengan kualitas diri seorang individu yang tidak mungkin terlepas dari situasi dan kondisi masyarakat yang ada di sekelilingnya, sehingga menjadikan nilai moralitas lebih bersifat relatif subjektif. 

Bagaimana nilai moralitas itu dapat dikaitkan dengan normativitas agama yang selalu diandaikan sebagai hal sakral dan terbungkus dalam religiusitas yang serba suci—putih? Sebab biasanya perilaku moral rasional akan ditandai dengan adanya pengakuan individu pada asas normatif yang bersumber dari asas pengajaran suatu agama.

Untuk jelasnya, kebebasan dalam batasan normativitas agama yang bermoral, adalah kebebasan yang didalamnya terkandung norma yang menghasilkan nilai–nilai kebajikan seseorang dalam kehidupan beragama. Sebab kebebasan dalam kebebasan selalu dibatasi dengan moralitas agama yang terdiri dari norma yang menghasilkan nilai kehidupan yang di jalani insan manusia sebagai makhluk bebas yang terbatas


Sesungguhnya kebebasan akan selalu berada dalam norma dan agama yang juga berhubungan langsung dengan nilai yang dihasilkan dari kehidupan moral—yang di jalani seseorang. 


Sehingga dapat dipahami bahwa bukti nyata seseorang itu bisa ‘bebas’ adalah ketika norma dan agama dijadikan sebagai nilai moral yang kuat dalam kehidupannya. Dalam artian bahwa semakin bebas seseorang, maka semakin kuat pula ia untuk memegang prinsip-prinsip dalam agama yang dianutnya.

Menurut Frondizi Risieri (2011:1-2, 6-8), nilai merupakan bagaimana cara pandang seseorang yang khas tentang dunia, dan secara mendasar mengandung arti pembedaan antara “ada” (being) dengan “nilai” (value) itu sendiri. Artinya, nilai tidak ada untuk dirinya sendiri. Setidak-tidaknya, di dunia ini, nilai membutuhkan pengemban untuk berada—ia ada. 

Oleh karena itu, nilai yang tampak pada manusia yang seolah-olah merupakan kualitas pengemban nilai yang tidak memberi dan menambahkan eksistensi. Karena sebenarnya nilai bukanlah benda atau pengalaman, juga bukan merupakan esensi. Nilai adalah nilai. 

Kemudian ditegaskan oleh Frondizi (2011:20), bahwa nilai setidaknya tidak terjebak dalam “disputatio de nominem”, sebab nilai itu akan objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilainya; sebaliknya, nilai itu akan subjektif, jika eksistensi maknanya, serta validitasnya, akan pula tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tersebut. Yaitu dengan tanpa mempertimbangkan apakah sesuatu itu bersifat psikis ataupun fisis.

Dalam pemahaman akan kebebasan lainnya, manusia juga merupakan makhluk rasional yang secara bebas dapat menentukan perbuatan dan perilaku moralnya sendiri dalam batasan-batasan nilai yang ternilai. Namun, perlu disadari juga, bahwa bukan berarti kehadiran ‘aturan’ dalam agama akan menjadi sesuatu yang dapat mengganggu dan mengurangi eksistensi dari kebebasannya tersebut. Sehingga moralitas sebagai hasil upaya rasional manusia dalam menentukan sesuatu, haruslah menjadi ‘balance’ atau sejalan dengan apa yang ditentukan oleh normativitas dalam kehidupan agama. 

Karena moralitas akan senantiasa ditandai dengan upaya manusia menjalankan kaidah-kaidah dalam agama yang telah ditentukan, dan di dasarkan bahwa rasionalitas dan nalar manusia selalu menginginkan kebaikan yang tercermin dalam norma-norma agama; yang berisi nilai-nilai kebajikan yang dibutuhkan. Dan apa yang tertuang di dalam norma-norma agama tersebut, akan selalu dapat diterima oleh budi pekerti—akal sehat manusia yang memang menginginkannya.

Alhasil, di sini akan terdapat hubungan yang signifikan antara kebebasan manusia dalam memilih nilai-nilai moral dengan mematuhi ajaran dan normativitas dalam Agama. Dengan demikian, kebebasan manusia ber-implikasi pada kepatuhannya meenjalankan nilai-nilai normativitas agama. Ketika manusia telah menerima nilai-nilai agama sebagai sebuah kebenaran dan meyakini bahwa nilai tersebut adalah benar, maka dengan sendirinya ia akan berpegang teguh dengannya, dan sebagai bukti bahwa ia bertanggung jawab atas pilihannya. Sebab manusia dapat melakukan pemilihan dan penerimaan bila ia di beri kebebasan dalam pengertian bahwa ia bebas untuk meniscayakan dirinya untuk bertanggung jawab atas apa pun yang telah menjadi pilihannya. 

Dalam makna lain, ketika pencarian sejatinya telah menemukan suatu kebenaran dari nilai-nilai moral, maka dengan sendirinya ia akan menjadi terikat dengan apa yang telah ia yakini sebagai sebuah kebenaran. Dengan demikian, maka kepatuhan terhadap nilai-nilai moral menjadi lambang atau bukti nyata dari seseorang untuk bertanggung jawab atas hasil pilihannya sendiri. 

Singkatnya, semakin patuh seseorang pada nilai-nilai moral yang telah ia yakini sebagai sebuah kebenaran, maka semakin mampu pula ia membuktikan bahwa nilai-nilai moralnya akan senantiasa menjadi dasar pada sebuah pertimbangan bebasnya—kebebasannya sendiri. Sehingga nantinya tidak terdapat unsur-unsur kepentingan lain yang telah memaksanya untuk mengambil keputusan moral untuk dirinya sendiri. 

Demikianlah kebebasan dalam ‘keterikatan’ insan manusia yang menjadi dasar dari moralitasnya sebagai makluk beragama yang bebas dalam ketidakbebasannya menganut kepercayaan yang menjadi pilihannya sendiri.

Oleh: Abdy Busthan
Share on Google Plus

About Pendidikan Kristen

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 Post a Comment:

Post a Comment